Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.

Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.

Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.

Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.

Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk.

Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.

Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur?

Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.

Wolf Totem is an epic Chinese tale that vividly depicts the dying culture of the Mongols—the ancestors of the Mongol hordes who once terrorized the world—and the parallel extinction of the animal they hold sacred: the fierce and otherworldly Mongolian wolf.

Set in 1960s China, during the time of the Great Leap Forward and on the eve of the Cultural Revolution, Beijing intellectual Chen Zhen travels to the pristine grasslands of Inner Mongolia. There, he lives among the nomadic Mongols—a proud, brave, and ancient race who coexist in perfect harmony with their beautiful but cruel natural surroundings. Their philosophy of maintaining a balance with nature forms the cornerstone of their religion, a kind of cult of the wolf.

The fierce wolves of the steppes, in their endless search for food, are locked in a spiritual battle for survival with the nomads—a life-and-death dance that has persisted for thousands of years. The Mongols view the wolf as a worthy foe, one they are divinely instructed to contend with, worship, and learn from. Chen's encounters with these otherworldly wolves awaken a latent primitive instinct in him, leading to fascination, obsession, and ultimately, reverence.

This fragile balance is shattered with the arrival of Chen's kinfolk, the Han Chinese, who are sent from the cities to bring modernity to the grasslands. Their campaign to exterminate the wolves disrupts the meticulously maintained balance, leading to a spiral of extinction—first the wolves, then the Mongol culture, and finally the land itself. As a result, rats become a plague, and wild sheep overgraze until the meadows turn to dust, causing Mongolian dust storms to glide over Beijing, sometimes even blotting out the moon.

Wolf Totem is a stinging social commentary on the dangers of China's overaccelerated economic growth and offers a fascinating immersion into the heart of Chinese culture.